Punk, Slogan, dan Kemapanan
Adi Renaldi
Understand we’re fighting a war we can’t win
They hate us, we hate them, we can’t win - Black Flag, “Police Story”
They hate us, we hate them, we can’t win - Black Flag, “Police Story”
Sejak penangkapan punk di Aceh beberapa
waktu lalu, berbagai reaksi dan kecaman terus mengalir. Penjuru dunia
tersentak. Paling tidak banyak yang peduli dan bersuara. Dari mulai mixtape, tulisan,
hingga stiker, semua mengalir. Ada yang mengaitkannya dengan HAM dan
ada pula yang mencoba netral. Teman saya berpendapat bahwa kasus ini
adalah contoh heterophobia, kondisi dimana masyarakat kini semakin tidak
terbuka terhadap perbedaan. Punk dianggap sebagai liyan. Itulah
pandangan orang kebanyakan terhadap komunitas punk. Teman saya tak
berlebihan, ia menilai hal ini sudah mengkhawatirkan. Kekerasan yang
dilakukan aparat itu tergolong alienatif. Mirip yang dilakukan rezim
fasis. Dan mirip juga dengan represi terhadap punk di awal kemunculannya
di Amerika Serikat. Menarik untuk melihat ini dalam kerangka sejarah
punk.
Tak salah bila Ian MacKaye menamakan band-nya dengan Minor Threat. Mereka menganggap dan dianggap sebagai misfit, social threat, outcast. Sebuah
ancaman kecil karena dilakukan remaja yang belum genap berumur 20-an.
Apa lacur, sebuah kolektif yang menganggap dirinya ancaman justru
seringkali malah lebih terancam. Selain ancaman dari aparat, punk juga
menerima ancaman sosial. Tak jarang mereka dipanggil “punk faggot”
oleh orang yang berkendara. Mereka jadi sasaran pemukulan. Dianggap
menyimpang. Bahkan Ian MacKaye dan teman-temannya pernah dilarang masuk
Disneyland, hanya gara-gara dandanan punk mereka. Dulu di Amerika sana
juga ada “Parents Against Punks” yang memiliki “Punk deprogramming”. Uniknya, di Indonesia “Punk deprogramming” ini justru dilakukan otoritas. Ya, di Aceh itu tadi.
Dulu saya sempat mengenal slogan “Making Punk A Threat Again”
dari zine Profane Existence, sebuah kolektif anarcho-punk asal
Minneapolis yang berdiri di tahun 1989. Sebagai remaja SMA, saya
menemukan slogan itu begitu menggetarkan. Bertenaga. Bergelora. Saya tak
memusingkan artinya lebih dalam. Sebatas keren-kerenan a la remaja yang
menggelegak. Sekadar gaya karena stiker nongkrong di helm.
Baru beberapa waktu lalu saya
memikirkannya. Hingga membuat saya bertanya. Ancaman terhadap apa?
Ancaman dalam bentuk apa? Beberapa teman menjawab: ancaman terhadap
fasisme, ancaman dalam bentuk kesadaran. Tapi bukankah ini jawaban yang
teoretis? Adakah bedanya dengan slogan yang mengarah pada jargon kosong?
Jawabannya mungkin berbeda bagi tiap individu. Bagi saya sulit
mengaitkan slogan itu dengan keadaan nyata negeri ini. Tapi melihat punk
sebagai ancaman tampaknya terburu-buru. Lebih bahaya lagi bila slogan
itu dicerna mentah dan dianggap sahih. Hingga mempertanyakan slogan itu
dianggap keluar dari logika. Bahkan ideologi pun bisa disanggah, diuji,
dan dipertanyakan. Lantas kenapa slogan ini begitu agung kedengarannya
hingga tak perlu dipertanyakan?
Goenawan Mohamad dalam “Kemudian Lahirlah Takhyul”
(11/06/83), menulis bahwa, “Ilmu tak lagi dililhat sebagai proses,
melainkan sabda. Kekuasaan makin besar, maka semakin besar pula
kemungkinannya untuk menggampangkan, memandekan. Kemudian lahirlah
takhyul”. Atau bisa jadi benar, kata Mansour Faqih, jangan-jangan
fasisme telah bersembunyi di kepala kita masing-masing.
Kita juga menjadi komentator di pinggir
lapangan. Yang berteriak otoritatif, “mengajari” punk untuk berbuat apa
yang kita anggap sebagai “nilai-nilai” punk. Seenak perut pula kita
dapat menyebut yang “dinilai tak layak” sebagai abal-abal. Bila punk
menjadi semangat di dalam diri kita saja, maka itu sudah cukup. “Gunakan
kedua tanganmu. Kerjakan sendiri”. Bukankah dari awal kemunculannya
punk itu unpredictable, tidak bisa kita prediksi arah dan tujuannya?
Lalu siapa kita berhak mengajari dan menuntun mereka yang dinilai
sebagai “anak punk”?
Kita juga tak menafikan keberadaan
komunitas punk yang terorganisir rapi (mungkin kata ini terlalu
birokratis). Seperti grup Marjinal, yang melakukan aktivisme nyata
dengan membuat workshop untuk anak jalanan dan masyarakat
sekitar ketimbang teriak-teriak lewat slogan melawan otoritas. Banyak
pula yang masih menganggap punk sebagai jalan hidupnya, dari awal ia
bersinggungan hingga detik ini. Tapi kita juga dihadapkan pada kenyataan
lain, punk kadang hanya sebuah kanal kemarahan remaja yang menggebu
minta disalurkan. Dan ketika beranjak tua, ia harus menyadari dan
belajar tentang kenyataan hidup bernama kompromi. Selalu ada banyak
kemungkinan. Bukankah itu yang membuat hidup lebih berwarna?
Kropotkin, seorang ahli biologi dan
peletak dasar ideologi anarkisme asal Rusia di awal abad 20, mungkin
benar. Bahwa “bantuan sesama, dimana kerja sama, adalah sifat alami
manusia.” Tapi ia lupa satu hal. Persaingan adalah juga sifat alami
manusia. Kain dan Habel, sang anak Adam, dari kitab Perjanjian Lama
menjadi contoh bagaimana sifat persaingan telah merasuk begitu dalam.
Dari persaingan itu muncul pemenang dan si kalah. Ada yang berkuasa dan
ada yang tertindas. Pemenang perlu si kalah agar ada status “menang”.
Saya jadi teringat judul lagu milik Charles Bronson, “Let’s Start Another War, So I Can Sing About Stopping it”.
Punk akan selalu berada di “luar”. Di bawah represi dan tekanan. Tapi
bukankah itu yang membuat punk berarti perlawanan? Apa jadinya bila ia
hidup mapan ongkang-ongkang?
Posting Komentar