Pages

Senin, 31 Maret 2014 di 21.19 Diposting oleh adiseptian 0 Comments

Punk, Slogan, dan Kemapanan

Rating
(13 votes)
Adi Renaldi
Oleh:
Adi Renaldi
Punk, Slogan, dan Kemapanan
Understand we’re fighting a war we can’t win
They hate us, we hate them, we can’t win   
- Black Flag, “Police Story”
Sejak penangkapan punk di Aceh beberapa waktu lalu, berbagai reaksi dan kecaman terus mengalir. Penjuru dunia tersentak. Paling tidak banyak yang peduli dan bersuara. Dari mulai mixtape, tulisan, hingga stiker, semua mengalir. Ada yang mengaitkannya dengan HAM dan ada pula yang mencoba netral. Teman saya berpendapat bahwa kasus ini adalah contoh heterophobia, kondisi dimana masyarakat kini semakin tidak terbuka terhadap perbedaan. Punk dianggap sebagai liyan. Itulah pandangan orang kebanyakan terhadap komunitas punk. Teman saya tak berlebihan, ia menilai hal ini sudah mengkhawatirkan. Kekerasan yang dilakukan aparat itu tergolong alienatif. Mirip yang dilakukan rezim fasis. Dan mirip juga dengan represi terhadap punk di awal kemunculannya di Amerika Serikat. Menarik untuk melihat ini dalam kerangka sejarah punk.
Tak salah bila Ian MacKaye menamakan band-nya dengan Minor Threat. Mereka menganggap dan dianggap sebagai misfit, social threat, outcast. Sebuah ancaman kecil karena dilakukan remaja yang belum genap berumur 20-an. Apa lacur, sebuah kolektif yang menganggap dirinya ancaman justru seringkali malah lebih terancam. Selain ancaman dari aparat, punk juga menerima ancaman sosial. Tak jarang mereka dipanggil “punk faggot” oleh orang yang berkendara. Mereka jadi sasaran pemukulan. Dianggap menyimpang. Bahkan Ian MacKaye dan teman-temannya pernah dilarang masuk Disneyland, hanya gara-gara dandanan punk mereka. Dulu di Amerika sana juga ada “Parents Against Punks” yang memiliki “Punk deprogramming”.  Uniknya, di Indonesia “Punk deprogramming” ini justru dilakukan otoritas. Ya, di Aceh itu tadi.
Dulu saya sempat mengenal slogan “Making Punk A Threat Again” dari zine Profane Existence, sebuah kolektif anarcho-punk asal Minneapolis yang berdiri di tahun 1989. Sebagai remaja SMA, saya menemukan slogan itu begitu menggetarkan. Bertenaga. Bergelora. Saya tak memusingkan artinya lebih dalam. Sebatas keren-kerenan a la remaja yang menggelegak. Sekadar gaya karena stiker nongkrong di helm.
Baru beberapa waktu lalu saya memikirkannya. Hingga membuat saya bertanya. Ancaman terhadap apa? Ancaman dalam bentuk apa? Beberapa teman menjawab: ancaman terhadap fasisme, ancaman dalam bentuk kesadaran. Tapi bukankah ini jawaban yang teoretis? Adakah bedanya dengan slogan yang mengarah pada jargon kosong? Jawabannya mungkin berbeda bagi tiap individu. Bagi saya sulit mengaitkan slogan itu dengan keadaan nyata negeri ini. Tapi melihat punk sebagai ancaman tampaknya terburu-buru. Lebih bahaya lagi bila slogan itu dicerna mentah dan dianggap sahih. Hingga mempertanyakan slogan itu dianggap keluar dari logika. Bahkan ideologi pun bisa disanggah, diuji, dan dipertanyakan. Lantas kenapa slogan ini begitu agung kedengarannya hingga tak perlu dipertanyakan?
Goenawan Mohamad dalam “Kemudian Lahirlah Takhyul” (11/06/83), menulis bahwa,  “Ilmu tak lagi dililhat sebagai proses, melainkan sabda. Kekuasaan makin besar, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menggampangkan, memandekan. Kemudian lahirlah takhyul”. Atau bisa jadi benar, kata Mansour Faqih, jangan-jangan fasisme telah bersembunyi di kepala kita masing-masing.
Kita juga menjadi komentator di pinggir lapangan. Yang berteriak otoritatif, “mengajari” punk untuk berbuat apa yang kita anggap sebagai “nilai-nilai” punk. Seenak perut pula kita dapat menyebut yang “dinilai tak layak” sebagai abal-abal. Bila punk menjadi semangat di dalam diri kita saja, maka itu sudah cukup. “Gunakan kedua tanganmu. Kerjakan sendiri”. Bukankah dari awal kemunculannya punk itu unpredictable, tidak bisa kita prediksi arah dan tujuannya? Lalu siapa kita berhak mengajari dan menuntun mereka yang dinilai sebagai “anak punk”?
Kita juga tak menafikan keberadaan komunitas punk yang terorganisir rapi (mungkin kata ini terlalu birokratis). Seperti grup Marjinal, yang melakukan aktivisme nyata dengan membuat workshop untuk anak jalanan dan masyarakat sekitar ketimbang teriak-teriak lewat slogan melawan otoritas. Banyak pula yang masih menganggap punk sebagai jalan hidupnya, dari awal ia bersinggungan hingga detik ini. Tapi kita juga dihadapkan pada kenyataan lain, punk kadang hanya sebuah kanal kemarahan remaja yang menggebu minta disalurkan. Dan ketika beranjak tua, ia harus menyadari dan belajar tentang kenyataan hidup bernama kompromi. Selalu ada banyak kemungkinan. Bukankah itu yang membuat hidup lebih berwarna?
Kropotkin, seorang ahli biologi dan peletak dasar ideologi anarkisme asal Rusia di awal abad 20, mungkin benar. Bahwa “bantuan sesama, dimana kerja sama, adalah sifat alami manusia.” Tapi ia lupa satu hal. Persaingan adalah juga sifat alami manusia. Kain dan Habel, sang anak Adam, dari kitab Perjanjian Lama menjadi contoh bagaimana sifat persaingan telah merasuk begitu dalam. Dari persaingan itu muncul pemenang dan si kalah. Ada yang berkuasa dan ada yang tertindas. Pemenang perlu si kalah agar ada status “menang”.
Saya jadi teringat judul lagu milik Charles Bronson, “Let’s Start Another War, So I Can Sing About Stopping it”. Punk akan selalu berada di “luar”. Di bawah represi dan tekanan. Tapi bukankah itu yang membuat punk berarti perlawanan? Apa jadinya bila ia hidup mapan ongkang-ongkang?

0 Responses so far.

Posting Komentar

    About Me

    Followers