Pages

Senin, 31 Maret 2014 di 21.21 Diposting oleh adiseptian 0 Comments

Fenomena Komunitas Punk di Indonesia

Oleh : Hotibin, A.KS. S.Sos. SH. MPSSp.*)


Mereka ibarat semut-semut hitam yang hidup di bawah tanah.
Berkerumun, saling bicara, dan bahu-membahu mengusung asa setinggi langit,
”sebuah kehidupan bebas, setara dan penuh kedamaian”.
Tiada cara untuk memahaminya, selain menggali tanah dan
menyusuri kegelapan untuk menemukan mereka dalam kesejatiannya.

Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak seluruh kalangan, baik pemerintah, masyarakat maupun para akademisi untuk lebih memperhatikan dan peduli terhadap masalah yang tengah melanda generasi muda di tanah air saat ini.
LATAR BELAKANG
Komunitas anak punk adalah sebuah fenomena sosial yang tengah mewabah di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Mereka berada di pusat-pusat kota dengan penampilannya yang ekstrim. Rambut mohawk ala suku Indian (rambut paku) dengan warna-warni yang terang/menyolok, sepatu boots, rantai dan spike (gelang berduri), body piercing (tindik), jaket kulit, celana jeans ketat, baju yang lusuh, atau t-shirt hitam, membuat setiap mata yang memandang merasa ganjil, curiga dan menyeramkan.

Berbagai kesan dan stigma negatif masyarakat ditujukan terhadap komunitas anak muda ini. Mereka dianggap kriminal, preman, brandal, perusuh, pemabuk, pengobat, urakan, dan orang-orang yang dianggap berbahaya. Hampir di setiap kota, keberadaan komunitas anak punk dipandang sebagai masalah yang meresahkan, sehingga upaya merazia mereka dilakukan dimana-mana dengan alasan mengganggu ketertiban umum. Salah satunya, sebagaimana diunggap dalam HU ”Batam Pos” berikut ini.
Masalah anak punk di Batam sebenarnya menjadi perhatian anggota DPRD Kota Batam, khususnya Komisi IV yang membidangi kesejahteraan masyarakat. Masalah yang satu ini, membuat Komisi IV angkat tangan serta bingung harus bersikap. Sekretaris Komisi IV Raja Abdul Gani menyatakan, pemerintah sudah melakukan razia terhadap gerombolan anak punk, tetapi tak menyelesaikan masalah. Kini jumlahnya semakin bertambah. Menurutnya, kebanyakan anak punk ini memang terlalu mengikuti model dan gaya hidup yang bebas. Mereka ingin menjalani hidup tanpa ikatan dan aturan. Anak punk juga dianggap memilih jalan hidup dan prinsip yang salah dan berbeda dari manusia pada umumnya. Ketika pemerintah akan membina mereka supaya kembali ke jalan yang benar, anak punk ini tak mendengarkan perkataan orang tua, guru, dan nasehat dari orang lain.
Informasi yang didapat Gani, dari anak punk di sekitar kediamannya, kehidupan anak punk banyak di malam hari. Mereka pulang ke rumah siang dan tidur. Saat malam tiba, mereka pun ke luar dari rumah bersama-sama temannya. Ada keanehan yang dialami gerombolan punk. Mereka tak bekerja, tapi ada uang. Bahkan pulsa handphone selalu ada. ”Saya juga jadi bingung dari mana mereka dapat duit,” ujarnya.
Selanjutnya Gani menyatakan, ”Ini memang sudah menjadi persoalan yang serius. Kita minta masukan dari masyarakat umum, bagaimana sebaiknya yang harus dilakukan dalam membina anak punk ini”. Mereka tak mungkin diserahkan kepada pihak kepolisian kalau mereka tidak melakukan tindak kriminal. Andai kata ditampung oleh pemerintah, itu juga tak mungkin. Sebab, Batam belum memiliki tempat penampungan khusus. (Batam Pos : Soal Komunitas Punk, DPRD Angkat Tangan, Kamis, 10 Januari 2008).
Pernyataan tersebut menunjukan bahwa komunitas ini telah dirasakan sebagai suatu masalah sosial dan butuh penanganan yang efektif. Sementara Menteri Sosial RI, Bachtiar Chamsyah memberikan beberapa pernyataan mengenai komunitas ini, ketika ditanya wartawan di VIP room Bandara Polonia Medan menjelang bertolak ke Jakarta saat transit dari Takengon - NAD, Rabu (20/2/2008). Beliau menyatakan bahwa keberadaan anak-anak pengamen di pinggir jalan bergaya aliran musik punk, bukti salah pembinaan orang tua. Anak-anak itu bukan kalangan orang susah, cuma saja salah pembinaan dari para orang tua mereka masing-masing. Kalangan orang tua, sebaiknya melakukan pembinaan anak-anaknya agar jangan terlalu bebas dan menjadi pengamen dipinggir-pinggir jalan, kurang baik dari pandangan orang asing. Kalau cara demikian terus menerus terjadi di pinggir jalan sebagai pengamen dan jauh dari kontrol orang tua, lama-lama bisa terarah ke sifat negatif. Mereka harus dibina agar mereka nantinya hidup layak dan tidak menjadi pemuda nakal masa akan datang. Depsos mempunyai dana untuk pembinaan anak-anak terlantar agar menjadi anak berguna pada masa akan datang. (http://www.waspada.co.id).
Berdasarkan pernyataan di atas, keberadaan anak punk yang mengamen ini merupakan masalah yang bisa berakibat negatif dan perlu pembinaan, baik dari orang tua maupun pemerintah (Depsos).
Pernyataan Mensos lainnya, bahwa mereka bukan dari kalangan orang susah, ada benarnya. Kenyataannya saat ini, komunitas anak punk berasal dari berbagai kalangan. Sebagian anak punk berasal dari keluarga mampu, bahkan ada dari keluarga pejabat. Di sinilah muncul sebuah pertanyaan yang perlu dicermati. Jika memang mereka orang mampu, mengapa sampai turun ke jalanan. Apa yang melatarbelakanginya ? atau apa sesungguhnya yang mereka cari ?. Jawabannya bisa karena berbagai alasan, namun ini bisa juga menjadi salah satu alasan kita untuk memahami eksistensi punk yang sebenarnya.
Komunitas yang satu ini memang sangat berbeda dan unik. Komunitas anak punk merupakan bagian dari kehidupan dunia underground. Mereka tidak hanya sekedar sekelompok anak muda dengan busana yang ekstrim, hidup di jalanan dan musik yang keras, tetapi yang mendasar adalah mereka mempunyai ideologi politik dan sosial. Kehadiran mereka adalah perlawanan terhadap kondisi politik, sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat.
Salah satunya, seperti terlihat pada pesan politik yang dicoretkan anak punk Bandung di tembok kantor di simpang Jl. Merdeka dan Jl. R.E. Martadinata, “Bubarkan Negara” , “Pemerintah = Racun” , “Negara = Racun”, dan “Keraskan Kepala”. Pesan-pesan yang mengerikan, seperti pernah digulirkan Carl Marx, yang membuat bulu kuduk berdiri.
Mereka akan terus berjuang dan mengobarkan slogan, ”punk not dead”. Punk tidak mati. Punk akan selalu hidup selama politik ada di muka bumi ini. Punk akan hidup selama penindasan belum berakhir. Selama ada kesenjangan dalam masyarakat, ketidakadilan, pengekangan kreativitas, perampasan hak-hak, punk akan tetap ada. Inilah prinsip yang akan selalu dipegang teguh oleh para punker sejati.
Barangkali karena slogan tersebut komunitas punk terus berkembang dari hari ke hari. Di Indonesia sendiri, perkembangan komunitas punk yang mulai marak pada pertengahan tahun 90-an mencatat prestasi yang luar biasa. Konon komunitas punk di Indonesia merupakan komunitas dengan populasi terbesar di dunia. Profane Existence, sebuah fanzine asal Amerika menulis negara dengan perkembangan punk yang menempati peringkat teratas di muka bumi adalah Indonesia dan Bulgaria.
Dari uraian di atas, rasanya sudah saatnya kita semua memberi perhatian bagi komunitas yang sedang melanda bangsa ini. Sekarang marilah kita sedikit pahami mengenai komunitas punk tersebut, agar kita sama-sama mengerti akan keberadaan dan sepak terjangnya.
APA ITU PUNK ?
Punk merupakan subkultur (sub-budaya) yang pertama kali lahir di London, Inggris. Secara sosiologis, subkultur adalah sekelompok orang yang memiliki perilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk mereka. Subkultur dapat terjadi karena perbedaan usia anggotanya, ras, etnisitas, kelas sosial, dan/atau gender, dan dapat pula terjadi karena perbedaan aesthetik, religi, politik, dan seksual, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.
Anggota dari suatu subkultur biasanya menunjukan keanggotaan mereka dengan gaya hidup atau simbol-simbol tertentu (pakaian, musik dan perilaku anggota sub kebudayaan). Jika suatu subkultur memiliki sifat yang bertentangan dengan kebudayaan induk, maka subkultur tersebut dapat dikelompokan sebagai kebudayaan tandingan (counter culture).
Dalam melihat komunitas punk terdapat 3 komponen yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan, yaitu sebagai ideologi, gaya hidup dan genre/jenis musik.
1. Punk sebagai Ideologi
Ideologi politik punk yang kuat mendasari adalah anarkisme. Secara etimologi, anarkisme merupakan kata dasar anarki yang diakhiri dengan isme. Kata anarki adalah tiruan kata asing seperti anarchy (Inggris) dan anarchie (Belanda/Jerman/Prancis), yang juga berasal dari kata Yunani anarchos/anarchia. Ini merupakan kata bentukan a (tidak/tanpa/nihil) yang disisipi n dengan archos/archia (pemerintah/kekuasaan). Anarchos/ anarchia = tanpa pemerintahan. Sedangkan Anarkis berarti orang yang mempercayai dan menganut anarki. Sedangkan isme sendiri berarti faham / ajaran / ideologi.
Secara keseluruhan anarkisme, yaitu suatu faham yang memper-cayai bahwa segala bentuk negara, pemerintahan, dengan kekuasaan-nya adalah lembaga-lembaga yang menumbuhsuburkan penindasan terhadap kehidupan, oleh karena itu negara, pemerintahan, beserta perangkatnya harus dihilangkan/ dihancurkan.
Di Indonesia, istilah anarki, anarkis atau anarkisme digunakan oleh media massa untuk menyatakan suatu tindakan perusakan, perkelahian atau kekerasan massal. Ini sebuah kesalahan, karena jelas berbeda sekali antara anarki dengan tindakan destruktif/vandalisme. Sebagaimana menurut para pencetusnya, yaitu William Godwin, Pierre-Joseph Proudhon, dan Mikhail Bakunin, anarkisme adalah sebuah ideologi yang menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa negara, dengan asumsi bahwa negara adalah sebuah bentuk kediktatoran legal yang harus diakhiri. Negara menetapkan pemberlakuan hukum dan peraturan yang sering kali bersifat pemaksaan, sehingga membatasi warga negara untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Kaum anarkis berkeyakinan bahwa jika dominasi negara atas rakyat terhapuskan, hak untuk memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya manusia akan berkembang dengan sendirinya. Rakyat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa campur tangan negara.
Komunitas punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai keinginan mereka. Etika semacam ini yang lazim disebut DIY (do it yourself/lakukan sendiri).
Keterlibatan kaum punk dalam ideologi anarkisme ini akhirnya memberikan warna baru dalam ideologi anarkisme itu sendiri, karena punk memiliki kekhasan tersendiri dalam gerakannya. Gerakan punk yang mengusung anarkisme sebagai ideologi lazim disebut gerakan Anarko-punk.
Anarko-punk adalah bagian dari gerakan punk yang dilakukan baik oleh kelompok, band, maupun individu-individu yang secara khusus menyebarkan ide-ide anarkisme. Dengan kata lain, anarko-punk adalah sebuah sub-budaya yang menggabungkan musik punk dan gerakan politik anarkisme. Tidak semua punk diiidentikkan dengan anarkisme. Namun, anarkisme memiliki peran yang signifikan dalam punk. Begitu juga sebaliknya, punk memberikan pengaruh yang besar pada wajah dunia anarkisme kontemporer.
Beberapa band punk penting yang cukup popular dan dianggap sebagai pelopor dari gerakan anarko-punk antara lain Crass, Conflict, dan Subhumans. Sedangkan di Indonesia beberapa band anarko-punk yang cukup populer antara lain Marjinal dan Bunga Hitam. Beberapa isu politik yang banyak diangkat oleh anarko-punk antara lain dukungannya terhadap gerakan anti perang, hak hidup satwa, feminisme, isu lingkungan, kebersamaan, anti kapitalisme, dan beberapa kasus-kasus yang juga banyak diangkat oleh para anarkis pada umumnya.
Dalam komunitas punk ini paham anti kapitalis juga menjadi perjuangan yang menonjol, sebagaimana pandangan Errico Malatesta :
"Penghapusan eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan dari kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas".
2. Punk sebagai Gaya Hidup
Punk lebih terkenal dari hal fesyen yang dikenakan dan tingkah laku yang mereka perlihatkan, seperti potongan rambut mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, body piercing, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh. Penampilan semacam itu yang sangat menonjol dalam komunitas ini dan menjadi ciri khas anak punk. Busana yang tidak lazim ini pula yang menimbulkan stigma negatif masyarakat terhadap anak punk.
Padahal apa yang dikenakan anak punk bukanlah tanpa makna. Kaum punk memang berpenampilan ”amburadul” bahkan lebih mirip gelandangan, karena bagi mereka ini merupakan cara untuk menunjuk-kan solidaritas terhadap kaum yang masih tertindas di atas bumi ini. Semua yg mereka kenakan adalah simbol keberpihakan mereka pada kaum yang tertindas. Rambut mereka yang bergaya mowhawk adalah cermin dari keberpihakan mereka terhadap suku mowhawk asli Indian yang dibantai orang kulit putih di Amerika. Spike kulit yang mereka kenakan di tangan adalah simbol pengikat tangan terpidana pada kursi listrik yang digunakan untuk mengeksekusi para aktivis yang diculik para diktator di negara-negara barat pada masa itu. Sepatu boot militer yang mereka pakai adalah simbol dari arogansi militer yang harus dilawan dangann kekuatan yang sama. Celana jeans ketat adalah simbol dari nasib kaum minoritas yang selalu terjepit. Rantai dan gembok adalah simbol kekuatan persatuan kaum punk, dan masih banyak lagi. Komunitas punk akan berhenti mengenakan penampilan dan gaya hidup menggelandang ini setelah tidak ada lagi penindasan di atas bumi ini.
Jadi, “Dont judge a book by its cover”, apa yang dikenakan anak punk merupakan simbolisasi kesadaran dan perlawanan. Semua berawal saat sekelompok orang prihatin terhadap nasib sesamanya dan menjadi marah serta berontak karena jiwa muda mereka.
Pada sisi lain, dengan berazas etika DIY (do it yourself), beberapa komunitas punk merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Mereka membuat label rekaman sendiri (indie label) untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian usaha ini berkembang menjadi semacam toko kecil yang lazim disebut distro. Barang dagangannya tidak hanya CD dan kaset, mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik (piercing) dan tatoo. Seluruh produk dijual terbatas dan dengan harga yang terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk, distro adalah implementasi perlawanan terhadap kapitalisme dan perilaku konsumtif anak muda pemuja Levi’s, Adidas, Nike, Calvin Klein, dan barang bermerek luar negeri lainnya.
3. Punk sebagai Genre Musik
Genre atau jenis musik adalah pengelompokan musik sesuai dengan kemiripannya satu sama lain. Sebuah genre dapat didefinisikan oleh teknik musik, gaya, konteks, dan tema musik. Punk merupakan salah satu dari genre musik rock, yaitu salah satu aliran musik yang berirama keras. Secara keseluruhan aliran-aliran dalam rock ini, meliputi Classics Rock, Progressive Rock, Alternative Rock, Hard Rock, Punk Rock, Heavy Metal, Speed Metal, Thrash Metal, Grindcore, Death Metal, Black Metal, Gothic, dan Doom.
Istilah punk muncul pada 1971. Lester Bangs, wartawan majalah semi-underground Amerika, “Creem”, menggunakan istilah punk untuk mendeskripsikan sebuah aliran musik rock yang semrawut, asal bunyi, namun bersemangat tinggi. Musik ini berkembang pada akhir 1970-an yang dipelopori oleh band-band seperti Sex Pistols, The Clash, dan The Ramones.
Punk berkembang sebagai buah kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang saat itu didominasi musisi rock mapan, seperti The Beatles, Rolling Stone, dan Elvis Presley. Musisi punk tidak memainkan nada-nada rock teknik tinggi atau lagu cinta yang menyayat hati. Sebaliknya, lagu-lagu punk lebih mirip teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia. Lirik lagu-lagu punk menceritakan rasa frustrasi, kema-rahan, dan kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta represi aparat, pemerintah dan figur penguasa terhadap rakyat. Akibatnya punk dicap sebagai musik rock n’ roll aliran kiri, sehingga sering tidak mendapat kesempatan untuk tampil di acara televisi. Perusahaan-perusahaan rekaman pun enggan mengorbitkan mereka.
Setelah kegagalan Reaganomic dan kekalahan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam di tahun 1980-an turut memanaskan suhu dunia punk pada saat itu. Band-band punk gelombang kedua (1980-1984), seperti Crass, Conflict, dan Discharge dari Inggris, The Ex dan BGK dari Belanda, MDC dan Dead Kennedys dari Amerika telah mengubah kaum punk menjadi pemendam jiwa pemberontak (rebellious thinkers) daripada sekadar pemuja rock n’ roll. Ideologi anarkisme yang pernah diusung oleh band-band punk gelombang pertama (1972-1978), antara lain Sex Pistols dan The Clash, dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi mereka yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap otoritas negara, masyarakat, maupun industri musik.

Pada berbagai kota, sebagian anak punk hidup di jalanan (street punk/OI), tapi sebagian besarnya tidak, dan hanya muncul pada hari/malam-malam tertentu saja. Menjamurnya komunitas/scane punk di kota-kota besar di Indonesia saat ini, menurut sebagian pendapat lebih cenderung karena trend mode saja. Mereka meniru dandanan ala punk karena menyukai dan sedang digandrungi kalangan remaja, tanpa tahu landasan atau filosofi punk yang sebenarnya. Bagi orang-orang yang mengaku sebagai punker sejati, hal ini dianggap merusak citra punk itu sendiri, karena menghilangan “soul” dari punk. Punker sejati memandang punk bukan sekedar gaya hidup (lifestyle), tetapi sebagai jalan hidup (way of life).
Selain itu di dalam punk sendiri terdapat beberapa jenis/komunitas yang memiliki ciri khas tersendiri, dan terkadang antara yang satu dengan yang lainnya juga sering terlibat masalah. Komunitas/jenis tersebut, yaitu Anarcho Punk, Glam Punk, Crust Punk, Hard Core Punk, Nazi Punk, The Oi, Queer Core, Riot Grrrl, Scum Punk, The Skate Punk, Ska Punk dan Punk Fashion.
Dalam setiap komunitas/jenis ini terdapat potensi yang dapat dianggap bermasalah maupun yang tidak. Misalnya Crust Punk, scene ini diklaim oleh para komunitas punk yang lainnya sebagai scene punk yang paling brutal. Para penganut dari faham ini biasa disebut dengan Crusties. Para Crusties tersebut sering melakukan berbagai macam pemberontakan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Para Crusties tersebut merupakan orang-orang yang anti sosial, mereka hanya mau bersosialisasi dengan sesama Crusties saja.
Sementara Scum Punk, yang menyebut dirinya Straight Edge Scene. Mereka benar-benar mengutamakan kenyamanan, kebersihan, kebaikan moral dan kesehatan. Banyak anggota dari Scum Punk yang sama sekali tidak mengkonsumsi zat-zat yang dapat merusak tubuh mereka sendiri. Mereka tidak merokok, minum minuman keras, narkoba, dan seks bebas. Mereka melawan image bahwa anak band identik dengan seks bebas dan narkoba, atau menolak idiom “Sex, Drugs, and Rock and Roll”.
Ini berarti bahwa tidak semua anak punk berpotensi bermasalah, atau dianggap negatif, namun pada jenis-jenis tertentu saja yang mungkin dapat menimbulkan masalah bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat. Dalam hal ini penulis ingin mengatakan bahwa begitu banyak dimensi/aspek yang harus kita pahami dari komunitas ini, sehingga perlunya melakukan pengkajian guna menentukan penangan yang efektif bagi mereka.

PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa kehadiran komunitas anak punk merupakan masalah sosial yang meresahkan saat ini dan perlu penanganan yang efektif. Upaya yang dilakukan sebagian besar Pemda hanyalah dengan merazia mereka melalui tangan-tangan pihak keamanan atau Satpol PP. Mereka ditangkap, ditanya sana-sini, diintimidasi, dimarahi, dan kemudian disuruh pulang. Yang lebih memprihatinkan, meraka ditangkap hanya untuk dipukuli agar jera berada di jalanan. Namun semua itu tak pernah menyelesaikan masalah. Mereka bukan berkurang, tapi semakin bertambah jumlahnya. Upaya represif aparat ini malah semakin menambah kebencian dan dendam mereka. Sebuah upaya yang sungguh-sungguh tidak efektif, dan yakinlah, masalah komunitas ini tidak akan selesai di ujung senapan apalagi pentungan.
Mereka sebagai kaum yang ”dimarginalkan” atau ”memarginalkan dirinya”, yang saat ini membutuhkan sentuhan tangan-tangan halus yang penuh pengertian dan kasih sayang. Untuk itu, keberadaan mereka perlu dipahami secara mendalam, karena kehadiran mereka adalah represtasi dan perlawanan terhadap berbagai keadaan dalam masyarakat. Mereka bukan sekedar sekelompok muda-mudi yang berpenampilan ”edan”, dan sederet stigma negatif.
Siapa lagi yang harus lebih peduli terhadap komunitas ini selain kita, karena komunitas ini menjadi masalah sosial yang berdekatan dengan permasalahan kesejahteraan sosial yang selama ini kita tangani, anak jalanan ataupun pengamen jalanan.
Mari berikan perhatian dan kepedulian kita pada mereka, sebelum anak-anak muda ini kehilangan masa depannya. Mari kita bergerak sekarang, sebelum disebut ”pahlawan kesiangan” nantinya. Pekerja sosial, Dinas Sosial dan Departemen Sosial haruslah menjadi tangan yang pertama menyentuh mereka, menjadi kawan dan mendampingi mereka menuju kehidupan terbaik bagi mereka sebagai anak-anak bangsa.

0 Responses so far.

Posting Komentar

    About Me

    Followers