Fenomena Komunitas Punk di Indonesia
Oleh : Hotibin, A.KS. S.Sos. SH. MPSSp.*)
Mereka ibarat semut-semut hitam yang hidup di bawah tanah.
Berkerumun, saling bicara, dan bahu-membahu mengusung asa setinggi langit,
”sebuah kehidupan bebas, setara dan penuh kedamaian”.
Tiada cara untuk memahaminya, selain menggali tanah dan
menyusuri kegelapan untuk menemukan mereka dalam kesejatiannya.
Melalui
tulisan ini, penulis ingin mengajak seluruh kalangan, baik pemerintah,
masyarakat maupun para akademisi untuk lebih memperhatikan dan peduli
terhadap masalah yang tengah melanda generasi muda di tanah air saat ini.
LATAR BELAKANG
Komunitas anak punk adalah sebuah fenomena sosial yang tengah mewabah di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Mereka berada di pusat-pusat kota dengan penampilannya yang ekstrim. Rambut mohawk ala suku Indian (rambut paku) dengan warna-warni yang terang/menyolok, sepatu boots, rantai dan spike (gelang berduri), body piercing
(tindik), jaket kulit, celana jeans ketat, baju yang lusuh, atau
t-shirt hitam, membuat setiap mata yang memandang merasa ganjil, curiga
dan menyeramkan.
Berbagai
kesan dan stigma negatif masyarakat ditujukan terhadap komunitas anak
muda ini. Mereka dianggap kriminal, preman, brandal, perusuh, pemabuk,
pengobat, urakan, dan orang-orang yang dianggap berbahaya. Hampir di
setiap kota, keberadaan komunitas anak punk dipandang sebagai masalah
yang meresahkan, sehingga upaya merazia mereka dilakukan dimana-mana
dengan alasan mengganggu ketertiban umum. Salah satunya, sebagaimana
diunggap dalam HU ”Batam Pos” berikut ini.
Masalah
anak punk di Batam sebenarnya menjadi perhatian anggota DPRD Kota
Batam, khususnya Komisi IV yang membidangi kesejahteraan masyarakat.
Masalah yang satu ini, membuat Komisi IV angkat tangan serta bingung
harus bersikap. Sekretaris Komisi IV Raja Abdul
Gani menyatakan, pemerintah sudah melakukan razia terhadap gerombolan
anak punk, tetapi tak menyelesaikan masalah. Kini jumlahnya semakin
bertambah. Menurutnya, kebanyakan anak punk ini memang terlalu mengikuti
model dan gaya hidup yang bebas. Mereka ingin menjalani hidup tanpa
ikatan dan aturan. Anak punk juga dianggap memilih jalan hidup dan
prinsip yang salah dan berbeda dari manusia pada umumnya. Ketika
pemerintah akan membina mereka supaya kembali ke jalan yang benar, anak
punk ini tak mendengarkan perkataan orang tua, guru, dan nasehat dari
orang lain.
Informasi
yang didapat Gani, dari anak punk di sekitar kediamannya, kehidupan
anak punk banyak di malam hari. Mereka pulang ke rumah siang dan tidur.
Saat malam tiba, mereka pun ke luar dari rumah bersama-sama temannya.
Ada keanehan yang dialami gerombolan punk. Mereka tak bekerja, tapi ada
uang. Bahkan pulsa handphone selalu ada. ”Saya juga jadi bingung dari
mana mereka dapat duit,” ujarnya.
Selanjutnya Gani menyatakan, ”Ini
memang sudah menjadi persoalan yang serius. Kita minta masukan dari
masyarakat umum, bagaimana sebaiknya yang harus dilakukan dalam membina anak punk ini”. Mereka
tak mungkin diserahkan kepada pihak kepolisian kalau mereka tidak
melakukan tindak kriminal. Andai kata ditampung oleh pemerintah, itu
juga tak mungkin. Sebab, Batam belum memiliki tempat penampungan khusus.
(Batam Pos : Soal Komunitas Punk, DPRD Angkat Tangan, Kamis, 10 Januari 2008).
Pernyataan
tersebut menunjukan bahwa komunitas ini telah dirasakan sebagai suatu
masalah sosial dan butuh penanganan yang efektif. Sementara Menteri
Sosial RI, Bachtiar Chamsyah memberikan beberapa pernyataan mengenai
komunitas ini, ketika ditanya wartawan di VIP
room Bandara Polonia Medan menjelang bertolak ke Jakarta saat transit
dari Takengon - NAD, Rabu (20/2/2008). Beliau menyatakan bahwa
keberadaan anak-anak pengamen di pinggir jalan bergaya aliran musik punk,
bukti salah pembinaan orang tua. Anak-anak itu bukan kalangan orang
susah, cuma saja salah pembinaan dari para orang tua mereka
masing-masing. Kalangan orang tua, sebaiknya melakukan pembinaan
anak-anaknya agar jangan terlalu bebas dan menjadi pengamen
dipinggir-pinggir jalan, kurang baik dari pandangan orang asing. Kalau
cara demikian terus menerus terjadi di pinggir jalan sebagai pengamen
dan jauh dari kontrol orang tua, lama-lama bisa terarah ke sifat
negatif. Mereka harus dibina agar mereka nantinya hidup layak dan tidak
menjadi pemuda nakal masa akan datang. Depsos mempunyai dana untuk
pembinaan anak-anak terlantar agar menjadi anak berguna pada masa akan
datang. (http://www.waspada.co.id).
Berdasarkan
pernyataan di atas, keberadaan anak punk yang mengamen ini merupakan
masalah yang bisa berakibat negatif dan perlu pembinaan, baik dari orang
tua maupun pemerintah (Depsos).
Pernyataan
Mensos lainnya, bahwa mereka bukan dari kalangan orang susah, ada
benarnya. Kenyataannya saat ini, komunitas anak punk berasal dari
berbagai kalangan. Sebagian anak punk berasal dari keluarga mampu,
bahkan ada dari keluarga pejabat. Di sinilah muncul sebuah pertanyaan
yang perlu dicermati. Jika memang mereka orang mampu, mengapa sampai
turun ke jalanan. Apa yang melatarbelakanginya ? atau apa sesungguhnya
yang mereka cari ?. Jawabannya bisa karena berbagai alasan, namun ini
bisa juga menjadi salah satu alasan kita untuk memahami eksistensi punk
yang sebenarnya.
Komunitas yang satu ini memang sangat berbeda dan unik. Komunitas anak punk merupakan bagian dari kehidupan dunia underground.
Mereka tidak hanya sekedar sekelompok anak muda dengan busana yang
ekstrim, hidup di jalanan dan musik yang keras, tetapi yang mendasar
adalah mereka mempunyai ideologi politik dan sosial. Kehadiran mereka
adalah perlawanan terhadap kondisi politik, sosial dan budaya yang ada
dalam masyarakat.
Salah
satunya, seperti terlihat pada pesan politik yang dicoretkan anak punk
Bandung di tembok kantor di simpang Jl. Merdeka dan Jl. R.E.
Martadinata, “Bubarkan Negara” , “Pemerintah = Racun” , “Negara = Racun”, dan “Keraskan Kepala”. Pesan-pesan yang mengerikan, seperti pernah digulirkan Carl Marx, yang membuat bulu kuduk berdiri.
Mereka akan terus berjuang dan mengobarkan slogan, ”punk not dead”.
Punk tidak mati. Punk akan selalu hidup selama politik ada di muka bumi
ini. Punk akan hidup selama penindasan belum berakhir. Selama ada
kesenjangan dalam masyarakat, ketidakadilan, pengekangan kreativitas,
perampasan hak-hak, punk akan tetap ada. Inilah prinsip yang akan selalu
dipegang teguh oleh para punker sejati.
Barangkali
karena slogan tersebut komunitas punk terus berkembang dari hari ke
hari. Di Indonesia sendiri, perkembangan komunitas punk yang mulai marak
pada pertengahan tahun 90-an mencatat prestasi yang luar biasa. Konon
komunitas punk di Indonesia merupakan komunitas dengan populasi terbesar
di dunia. Profane Existence, sebuah fanzine
asal Amerika menulis negara dengan perkembangan punk yang menempati
peringkat teratas di muka bumi adalah Indonesia dan Bulgaria.
Dari
uraian di atas, rasanya sudah saatnya kita semua memberi perhatian bagi
komunitas yang sedang melanda bangsa ini. Sekarang marilah kita sedikit
pahami mengenai komunitas punk tersebut, agar kita sama-sama mengerti
akan keberadaan dan sepak terjangnya.
APA ITU PUNK ?
Punk
merupakan subkultur (sub-budaya) yang pertama kali lahir di London,
Inggris. Secara sosiologis, subkultur adalah sekelompok orang yang
memiliki perilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk
mereka. Subkultur dapat terjadi karena perbedaan usia anggotanya, ras,
etnisitas, kelas sosial, dan/atau gender, dan dapat pula terjadi karena
perbedaan aesthetik, religi, politik, dan seksual, atau kombinasi dari
faktor-faktor tersebut.
Anggota
dari suatu subkultur biasanya menunjukan keanggotaan mereka dengan gaya
hidup atau simbol-simbol tertentu (pakaian, musik dan perilaku anggota
sub kebudayaan). Jika suatu subkultur memiliki
sifat yang bertentangan dengan kebudayaan induk, maka subkultur tersebut
dapat dikelompokan sebagai kebudayaan tandingan (counter culture).
Dalam melihat
komunitas punk terdapat 3 komponen yang saling terkait dan merupakan
satu kesatuan, yaitu sebagai ideologi, gaya hidup dan genre/jenis musik.
1. Punk sebagai Ideologi
Ideologi
politik punk yang kuat mendasari adalah anarkisme. Secara etimologi,
anarkisme merupakan kata dasar anarki yang diakhiri dengan isme. Kata
anarki adalah tiruan kata asing seperti anarchy (Inggris) dan anarchie
(Belanda/Jerman/Prancis), yang juga berasal dari kata Yunani
anarchos/anarchia. Ini merupakan kata bentukan a (tidak/tanpa/nihil)
yang disisipi n dengan archos/archia (pemerintah/kekuasaan). Anarchos/
anarchia = tanpa pemerintahan. Sedangkan Anarkis berarti orang yang
mempercayai dan menganut anarki. Sedangkan isme sendiri berarti faham /
ajaran / ideologi.
Secara
keseluruhan anarkisme, yaitu suatu faham yang memper-cayai bahwa segala
bentuk negara, pemerintahan, dengan kekuasaan-nya adalah
lembaga-lembaga yang menumbuhsuburkan penindasan terhadap kehidupan,
oleh karena itu negara, pemerintahan, beserta perangkatnya harus
dihilangkan/ dihancurkan.
Di
Indonesia, istilah anarki, anarkis atau anarkisme digunakan oleh media
massa untuk menyatakan suatu tindakan perusakan, perkelahian atau
kekerasan massal. Ini sebuah kesalahan, karena jelas berbeda sekali
antara anarki dengan tindakan destruktif/vandalisme. Sebagaimana
menurut para pencetusnya, yaitu William Godwin, Pierre-Joseph Proudhon,
dan Mikhail Bakunin, anarkisme adalah sebuah ideologi yang menghendaki
terbentuknya masyarakat tanpa negara, dengan asumsi bahwa negara adalah
sebuah bentuk kediktatoran legal yang harus diakhiri. Negara menetapkan
pemberlakuan hukum dan peraturan yang sering kali bersifat pemaksaan,
sehingga membatasi warga negara untuk memilih dan bertanggung jawab atas
pilihannya sendiri. Kaum anarkis berkeyakinan bahwa jika dominasi
negara atas rakyat terhapuskan, hak untuk memanfaatkan kekayaan alam dan
sumber daya manusia akan berkembang dengan sendirinya. Rakyat mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa campur tangan negara.
Komunitas
punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata.
Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik
dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa
menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai keinginan
mereka. Etika semacam ini yang lazim disebut DIY (do it yourself/lakukan sendiri).
Keterlibatan
kaum punk dalam ideologi anarkisme ini akhirnya memberikan warna baru
dalam ideologi anarkisme itu sendiri, karena punk memiliki kekhasan
tersendiri dalam gerakannya. Gerakan punk yang mengusung anarkisme
sebagai ideologi lazim disebut gerakan Anarko-punk.
Anarko-punk
adalah bagian dari gerakan punk yang dilakukan baik oleh kelompok,
band, maupun individu-individu yang secara khusus menyebarkan ide-ide
anarkisme. Dengan kata lain, anarko-punk adalah sebuah sub-budaya yang
menggabungkan musik punk dan gerakan politik anarkisme. Tidak semua punk
diiidentikkan dengan anarkisme. Namun, anarkisme memiliki peran yang
signifikan dalam punk. Begitu juga sebaliknya, punk memberikan pengaruh
yang besar pada wajah dunia anarkisme kontemporer.
Beberapa
band punk penting yang cukup popular dan dianggap sebagai pelopor dari
gerakan anarko-punk antara lain Crass, Conflict, dan Subhumans.
Sedangkan di Indonesia beberapa band anarko-punk yang cukup populer
antara lain Marjinal dan Bunga Hitam. Beberapa isu politik yang banyak
diangkat oleh anarko-punk antara lain dukungannya terhadap gerakan anti
perang, hak hidup satwa, feminisme, isu lingkungan, kebersamaan, anti kapitalisme, dan beberapa kasus-kasus yang juga banyak diangkat oleh para anarkis pada umumnya.
Dalam komunitas punk ini paham anti kapitalis juga menjadi perjuangan yang menonjol, sebagaimana pandangan Errico Malatesta :
"Penghapusan
eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat
penghapusan dari kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas".
2. Punk sebagai Gaya Hidup
Punk lebih terkenal dari hal fesyen yang dikenakan dan tingkah laku yang mereka perlihatkan, seperti potongan rambut mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, body piercing,
jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh. Penampilan semacam
itu yang sangat menonjol dalam komunitas ini dan menjadi ciri khas anak
punk. Busana yang tidak lazim ini pula yang menimbulkan stigma negatif
masyarakat terhadap anak punk.
Padahal
apa yang dikenakan anak punk bukanlah tanpa makna. Kaum punk memang
berpenampilan ”amburadul” bahkan lebih mirip gelandangan, karena bagi
mereka ini merupakan cara untuk menunjuk-kan solidaritas terhadap kaum
yang masih tertindas di atas bumi ini. Semua yg mereka kenakan adalah
simbol keberpihakan mereka pada kaum yang tertindas. Rambut
mereka yang bergaya mowhawk adalah cermin dari keberpihakan mereka
terhadap suku mowhawk asli Indian yang dibantai orang kulit putih di
Amerika. Spike kulit yang mereka kenakan di tangan adalah simbol
pengikat tangan terpidana pada kursi listrik yang digunakan untuk
mengeksekusi para aktivis yang diculik para diktator di negara-negara
barat pada masa itu. Sepatu boot militer yang mereka pakai adalah simbol
dari arogansi militer yang harus dilawan dangann kekuatan yang sama.
Celana jeans ketat adalah simbol dari nasib kaum minoritas yang selalu
terjepit. Rantai dan gembok adalah simbol kekuatan persatuan kaum punk,
dan masih banyak lagi. Komunitas punk akan berhenti mengenakan
penampilan dan gaya hidup menggelandang ini setelah tidak ada lagi
penindasan di atas bumi ini.
Jadi, “Dont judge a book by its cover”, apa
yang dikenakan anak punk merupakan simbolisasi kesadaran dan
perlawanan. Semua berawal saat sekelompok orang prihatin terhadap nasib
sesamanya dan menjadi marah serta berontak karena jiwa muda mereka.
Pada
sisi lain, dengan berazas etika DIY (do it yourself), beberapa
komunitas punk merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Mereka
membuat label rekaman sendiri (indie label) untuk menaungi band-band
sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian usaha ini
berkembang menjadi semacam toko kecil yang lazim disebut distro. Barang
dagangannya tidak hanya CD dan kaset, mereka juga memproduksi dan
mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa
tindik (piercing) dan tatoo. Seluruh produk dijual terbatas dan dengan
harga yang terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk, distro adalah
implementasi perlawanan terhadap kapitalisme dan perilaku konsumtif anak
muda pemuja Levi’s, Adidas, Nike, Calvin Klein, dan barang bermerek
luar negeri lainnya.
3. Punk sebagai Genre Musik
Genre
atau jenis musik adalah pengelompokan musik sesuai dengan kemiripannya
satu sama lain. Sebuah genre dapat didefinisikan oleh teknik musik,
gaya, konteks, dan tema musik. Punk merupakan salah satu dari genre
musik rock, yaitu salah satu aliran musik yang berirama keras. Secara
keseluruhan aliran-aliran dalam rock ini, meliputi Classics Rock,
Progressive Rock, Alternative Rock, Hard Rock, Punk Rock, Heavy Metal,
Speed Metal, Thrash Metal, Grindcore, Death Metal, Black Metal, Gothic,
dan Doom.
Istilah
punk muncul pada 1971. Lester Bangs, wartawan majalah semi-underground
Amerika, “Creem”, menggunakan istilah punk untuk mendeskripsikan sebuah
aliran musik rock yang semrawut, asal bunyi, namun bersemangat tinggi.
Musik ini berkembang pada akhir 1970-an yang dipelopori oleh band-band
seperti Sex Pistols, The Clash, dan The Ramones.
Punk
berkembang sebagai buah kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap
industri musik yang saat itu didominasi musisi rock mapan, seperti The
Beatles, Rolling Stone, dan Elvis Presley. Musisi punk tidak memainkan
nada-nada rock teknik tinggi atau lagu cinta yang menyayat hati.
Sebaliknya, lagu-lagu punk lebih mirip teriakan protes demonstran
terhadap kejamnya dunia. Lirik lagu-lagu punk menceritakan rasa
frustrasi, kema-rahan, dan kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan,
pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta represi aparat,
pemerintah dan figur penguasa terhadap rakyat. Akibatnya punk dicap
sebagai musik rock n’ roll aliran kiri, sehingga sering tidak mendapat
kesempatan untuk tampil di acara televisi. Perusahaan-perusahaan rekaman
pun enggan mengorbitkan mereka.
Setelah
kegagalan Reaganomic dan kekalahan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam
di tahun 1980-an turut memanaskan suhu dunia punk pada saat itu.
Band-band punk gelombang kedua (1980-1984), seperti Crass, Conflict, dan
Discharge dari Inggris, The Ex dan BGK dari Belanda, MDC dan Dead
Kennedys dari Amerika telah mengubah kaum punk menjadi pemendam jiwa
pemberontak (rebellious thinkers) daripada sekadar pemuja rock n’ roll.
Ideologi anarkisme yang pernah diusung oleh band-band punk gelombang
pertama (1972-1978), antara lain Sex Pistols dan The Clash, dipandang
sebagai satu-satunya pilihan bagi mereka yang sudah kehilangan
kepercayaan terhadap otoritas negara, masyarakat, maupun industri musik.
Pada berbagai kota, sebagian anak punk hidup di jalanan (street punk/OI),
tapi sebagian besarnya tidak, dan hanya muncul pada hari/malam-malam
tertentu saja. Menjamurnya komunitas/scane punk di kota-kota besar di
Indonesia saat ini, menurut sebagian pendapat lebih
cenderung karena trend mode saja. Mereka meniru dandanan ala punk
karena menyukai dan sedang digandrungi kalangan remaja, tanpa tahu
landasan atau filosofi punk yang sebenarnya. Bagi orang-orang yang
mengaku sebagai punker sejati, hal ini dianggap merusak citra punk itu
sendiri, karena menghilangan “soul” dari punk. Punker sejati memandang punk bukan sekedar gaya hidup (lifestyle), tetapi sebagai jalan hidup (way of life).
Selain
itu di dalam punk sendiri terdapat beberapa jenis/komunitas yang
memiliki ciri khas tersendiri, dan terkadang antara yang satu dengan
yang lainnya juga sering terlibat masalah. Komunitas/jenis tersebut,
yaitu Anarcho Punk, Glam Punk, Crust Punk, Hard
Core Punk, Nazi Punk, The Oi, Queer Core, Riot Grrrl, Scum Punk, The
Skate Punk, Ska Punk dan Punk Fashion.
Dalam setiap komunitas/jenis ini terdapat potensi yang dapat dianggap bermasalah maupun yang tidak. Misalnya Crust Punk,
scene ini diklaim oleh para komunitas punk yang lainnya sebagai scene
punk yang paling brutal. Para penganut dari faham ini biasa disebut
dengan Crusties. Para Crusties tersebut sering melakukan berbagai macam
pemberontakan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Para Crusties tersebut
merupakan orang-orang yang anti sosial, mereka hanya mau bersosialisasi
dengan sesama Crusties saja.
Sementara Scum Punk, yang menyebut dirinya Straight Edge Scene. Mereka benar-benar mengutamakan kenyamanan, kebersihan, kebaikan moral dan kesehatan. Banyak anggota dari Scum Punk
yang sama sekali tidak mengkonsumsi zat-zat yang dapat merusak tubuh
mereka sendiri. Mereka tidak merokok, minum minuman keras, narkoba, dan
seks bebas. Mereka melawan image bahwa anak band identik dengan seks bebas dan narkoba, atau menolak idiom “Sex, Drugs, and Rock and Roll”.
Ini
berarti bahwa tidak semua anak punk berpotensi bermasalah, atau
dianggap negatif, namun pada jenis-jenis tertentu saja yang mungkin
dapat menimbulkan masalah bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat.
Dalam hal ini penulis ingin mengatakan bahwa begitu banyak dimensi/aspek
yang harus kita pahami dari komunitas ini, sehingga perlunya melakukan
pengkajian guna menentukan penangan yang efektif bagi mereka.
PENUTUP
Berdasarkan
uraian di atas dapat dikatakan bahwa kehadiran komunitas anak punk
merupakan masalah sosial yang meresahkan saat ini dan perlu penanganan
yang efektif. Upaya yang dilakukan sebagian besar Pemda hanyalah dengan
merazia mereka melalui tangan-tangan pihak keamanan atau Satpol PP.
Mereka ditangkap, ditanya sana-sini, diintimidasi, dimarahi, dan
kemudian disuruh pulang. Yang lebih memprihatinkan, meraka ditangkap
hanya untuk dipukuli agar jera berada di jalanan. Namun semua itu tak
pernah menyelesaikan masalah. Mereka bukan berkurang, tapi semakin
bertambah jumlahnya. Upaya represif aparat ini malah semakin menambah
kebencian dan dendam mereka. Sebuah upaya yang sungguh-sungguh tidak
efektif, dan yakinlah, masalah komunitas ini tidak akan selesai di ujung
senapan apalagi pentungan.
Mereka
sebagai kaum yang ”dimarginalkan” atau ”memarginalkan dirinya”, yang
saat ini membutuhkan sentuhan tangan-tangan halus yang penuh pengertian
dan kasih sayang. Untuk itu, keberadaan mereka perlu dipahami secara
mendalam, karena kehadiran mereka adalah represtasi dan perlawanan
terhadap berbagai keadaan dalam masyarakat. Mereka bukan sekedar
sekelompok muda-mudi yang berpenampilan ”edan”, dan sederet stigma
negatif.
Siapa
lagi yang harus lebih peduli terhadap komunitas ini selain kita, karena
komunitas ini menjadi masalah sosial yang berdekatan dengan
permasalahan kesejahteraan sosial yang selama ini kita tangani, anak
jalanan ataupun pengamen jalanan.
Mari
berikan perhatian dan kepedulian kita pada mereka, sebelum anak-anak
muda ini kehilangan masa depannya. Mari kita bergerak sekarang, sebelum
disebut ”pahlawan kesiangan” nantinya. Pekerja sosial, Dinas Sosial dan
Departemen Sosial haruslah menjadi tangan yang pertama menyentuh mereka,
menjadi kawan dan mendampingi mereka menuju kehidupan terbaik bagi
mereka sebagai anak-anak bangsa.